My Hopes For Moslem Youth Indonesia
Sumber foto : www.pbhmi.or.id |
Oleh : Rizki A. Restiawan, Wasekum KPP Himpunan Mahasiswa Islam Banyuwangi Komisariat Cendekiawan Muslim.
Tak seorang pun didunia ini yang terlepas dari kesalahan dan dosa, tak seorang pun di dunia ini yang tidak pernah melakukan khilaf dengan melakukan suatu tindakan yang akhirnya membuatnya merasa memikul beban ketidakbenaran.
Lepas dari hal itu, hati nurani kita menginginkan suatu perubahan diri untuk menjadi insan yang terbaik, bermanfaat dan berguna bagi orang lain.
Tak jarang banyak dari kita yang berupaya mencari nilai nilai kebenaran dari berbagai hal. Ada yang mendatangi orang orang alim, membaca buku kajian agama secara otodidak hingga yang paling instan adalah melalui media sosial (medsos).
Di era kekinian yang serba internet ini, media sosial merupakan cara yang paling efektif untuk mendapatkan segala macam informasi. Kabar apapun bisa dengan mudah didapatkan melalui medsos, termasuk mencari kebenaran dalam suatu keyakinan agama.
Semangat keinginan memperbaiki diri untuk berubah menjadi manusia lebih baik (berhijrah), terkadang membuat seseorang lalai akan hakikat kebenaran yang sesungguhnya.
Bahkan kebanyakan dari mereka langsung yakin dan percaya terhadap apa yang diperoleh dari medsos yang dianggapnya sebagai guru itu tanpa tahu kejelasan sumbernya.
Padahal kita tahu, belajar agama tanpa melalui guru bisa saja tersesat karena salah paham atau salah mengerti. Bahkan mungkin yang lebih celakanya lagi bisa saja seseorang tersebut melenceng jauh dari kebenaran yang sesungguhnya karena interpretasi yang tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh pesan yang disampaikan.
Yang lebih miris lagi, adalah ketika mendapatkan sedikit ilmu agama kemudian tidak mengakui perbedaan pendapat sesama saudara muslim lainnya karena dinilai bersebrangan dengan paham ideologi mereka. Akibatnya muncul fatwa fatwa baru yang menjustifikasi bahwa yang tidak sesuai dengan mereka adalah sesat. Parahnya, mereka terindikasi menebar politik devide et' empera dan mengancam ideologi bangsa Indonesia.
Inilah yang perlu menjadi renungan bagi kita bersama untuk bisa mengatasinya. Jangankan instan, orang yang bertahun-tahun belajar ilmu agama dalam lingkungan pesantren pun juga masih ada sesuatu yang perlu dipelajari dan mempunyai potensi kemungkinan salah, apalagi yang baru belajar dengan menggunakan media sosial, potensi salah dan melenceng amatlah besar pula.
Apa yang didapatkan mungkin baik dari sisi niatnya, yaitu semangat untuk berhijrah. Sayangnya semangat tersebut tidak diimbangi dengan latar belakang dari sumber yang diperolehnya. Saat ini kita tahu banyak orang yang dianggap alim dan berpengetahuan agama yang tidak jelas latar belakang keilmuannya malang melintang di jagat dunia maya.
Di era serba keterbukaan saat ini, media sosial memang sudah menjadi kebutuhan primer bagi kelangsungan hidup manusia modern. Medsos seperti youtube, facebook, twitter, instagram, blog atau media lainnya seringkali menjadi alat bagi mereka untuk menyebarluaskan dakwahnya. Alih-alih berhijrah menurut ketentuan Tuhan, namun sebenarnya apa yang mereka inginkan adalah menggiring kepada idealisme pribadi dan golongan semata untuk dapat mengikuti apa yang mereka kehendaki.
Penulis dalam hal ini sadar, bahwa dirinya bukanlah orang yang paling merasa benar terhadap sesuatu yang diakuinya. Karena kebenaran itu hanya diperuntukkan bagi orang yang memang meyakininya asal tidak melanggar norma, agama, budaya dan adat istiadat. Selebihnya hanyalah pemaksaan karakter terkait sudut pandang.
Namun penulis yakin kebenaran hanya ada di tangan Allah SWT. Manusia, hanya bisa mengusahakan dan menjalankan sesuai dengan tuntunan yang sudah diberikan. Oleh sebab itulah Tuhan menciptakan makhluknya berbeda beda supaya kita bisa melihat perbedaan itu sebagai suatu anugerah dan bukan bencana, apalagi ajang munculnya fatwa guna menunjukkan eksistensi diri sendiri atau golongan untuk menyalahkan.
Kaitanya dengan belajar secara langsung kepada guru atau orang yang jelas latarbelakang dan sumbernya merupakan sebuah keharusan yang bisa menghindarkan kita dari ketidakpastian ilmu yang berkembang saat ini. Karena itu guru akan menegur manakala kita salah paham, kurang paham atau tidak paham terkait dengan pembelajaran yang dilakukan.
Hemat saya, orang yang mempunyai guru secara real saja terkadang bisa salah apalagi yang hanya belajar dengan berbekal pengetahuan dan 'katanya' dari dunia maya. Keotentikan dan kualitas kebenarannya tentunya patut dipertanyakan.
Konteks yang ingin disampaikan penulis dalam hal ini adalah suatu keharusan bagi generasi muda muslim Indonesia untuk bisa kritis dalam menyikapi suatu permasalahan, utamanya mengenai agama dan keyakinan. Karena sejatinya kita hidup bersama itu membawa kedamaian dan bukan permusuhan. Yang lebih penting adalah belajar harus dengan orang yang ahli dan jelas biografinya.
Karena sering kali jalan yang ditempuh untuk menuju ke suatu tempat tujuan mulia tersebut kurang tepat dan tidak pada sumbernya. Akibatnya timbul tendensius negatif terhadap suatu golongan lain yang dampaknya bisa mememecah belah umat hingga yang ekstrim mengarah kepada radikalisme.
Pemuda muslim Indonesia nampaknya mengalami kemunduran dalam belajar mencari kebenaran ilmu pengetahuan agama. Lantaran derasnya arus informasi melalui internet, rasa untuk mencari tahu sesuatu melalui media selain internet dianggapnya agak susah. Sehingga mereka lebih mudah jika mencari melalui media sosial sebagai bahan referensi.
Sebagai pemuda muslim Indonesia yang mencintai bangsa, sudah waktunya menjadi pioner untuk melakukan perubahan tersebut ditengah maraknya berbagai faham yang berkembang saat ini.
Tidak ada komentar